Poligami dan Pengaruhnya Terhadap Anak Ditinjau Dari Sisi Psikologis dalam Prespektif Hukum Islam
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontorversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat deskriminatif terhadap perempuan . pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan perselingkuhan.
Dewasa ini wacana mengenai poligami kembali menjadi issu sentral disetiap kondisi, waktu dan tempat. Tidak saja pada lingkup akademisi, lembaga pengajian, pondok pesantren, cermah di masjid tetapi juga di warung-warung kopi, pangkalan ojek ataupun kerumunan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kasus poligami da’i Selebritis, kondang dan menjadi idola para wanita KH. Abdullah Gymnastiar yang lebih terkenal dengan sebutan Aa’ Gym telah menguak kembali polemic lama mengenai eksistensi poligami dalam Islam.
Pada prinsipnya hukum Islam dan hukum positif di Indonesia menghendaki adanya azas monogamy dalam perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, baik hukum islam maupun huum positif di Indonesia tetap membolehkan adanya poligami (beristeri lebih seorang).
Azas monogami diberlakukan untuk menjaga kemungkinan- kemungkinan yang timbul sebagai akibat dari poligami itu sendiri, sehingga dengan demikian poligami hanya diperbolehkan jika kondisi sangat menuntut. Dan poligami pun merupakan pintu darurat yang hanya diperbolehkan bagi orang- orang yang memang sangat membutuhkannya. Di samping hal tersebut, poligami hanya diizinkan dengan memperhatikan syarat yakni dapat dipercaya bahwa orang yang melakukan poligami tersebut benar- benar dapat menegakkan keadilan dan aman dari suatu perbuatan yang melampaui batas. Jadi tidak semua pria boleh melaksanakan poligami.
Banyak fakta yang dapat dilihat dalam kehidupan, bahwa poligami banyak menimbulkan akibat- akibat yang kurang baik bagi kelangsungan rumah tangga. Misalnya saja dua orang yang dimadu, senantiasa membujuk anaknya masing- masing untuk saling memusuhi saudaranya dari ibu yang lain. Dalam hal yang lain dapat pula terjadi seorang isteri akan senantiasa mempengaruhi suaminya agar hanya mencintai anak- anaknya dari pada anak- anaknya yang berasal dari ibu yang lain. Dan kenyataan memang banyak menunjukkan bahwa seorang suami terkadang cenderung untuk lebih mencintai anak- anaknya dari ister yang dicintainya pula.
Jika kondisi demikian terjadi, maka kerusakan rumah tangga sudah jelas menyimpang dari pada hakekat dan tujuuan perkawinan, yang salah satu di antaranya adalah untuk menjalin rasa cinta dan kasih sayang di antara suami dan isteri.
Adapun poligami yang diperbolehkan dalam syari’at Islam adalah merupakan suatu alternatif yang mulia dan agung bagi manusia, yang mengalami suasana dan kondisi tertentu untuk berpoligami. Kondisi yang dimaksudkan seperti jika sang isteri terkena penyakit kronis,dan tidak dapat memberi keturunan, yang menyebabkan ia tidak dapat lagi menjalankan perannya sebagai seorang isteri.
Dalam syari’at Islam syarat yang utama untuk poligami adalah yakinnya orang tersebut akan dirinay untuk dapat berlaku adil terhadap isteri dan anak- anaknya, baik pada bidang moril maupun pada bidang materil, jika seseorang tidak sanggup akan hal tersebut maka dilarang baginya untuk berpoligami. Dalm kaitannya dengan hal tersebut,Allah brfirman QS. An- Nisa’(4): 3 ;
..فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً…
Artinya :“ jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.”
Poligami merupakan suatu hal yang amat tidak disenangi oleh satu pihak yaitu isteri, karena hal tersebut bagaikan pintu darurat demi mengatasi suatu masalah yang krisis. Terjadinya poligami tanpa memikirkan efek yang akan terjadi bukan saja menyakitkan bagi pihak isteri,tapi yang terutama dampaknya terhadap anak dan masyarakat
Poligami Menciutkan Mental Anak
Seorang suami yang berniat melakukan poligami harus memenuhi syarat fisik dan psikis. Dalam dua kebutuhan itu, seorang laki-laki dituntut untuk berlaku adil, dan ini lah yang paling sulit, bahkan Allah SWT sendiripun menegaskan dalam QS An-Nisa ayat 3. Persiapan psikis sangat penting, terutama jika di dalam di dalam pernikahan poligami sang suami sebelumnya terdapat anak-anak. Anak-anak dapat merasakan setelah pernikahan kedua terjadi, apakah ibunya dapat dengan besar hati menerima orang baru masuk ke dalam kehidupan mereka. Jangan sampai keputusan yang diambil menyimpan bara dalam sekam, ujungnya yang terjadi adalah ketidak bahagiaan bagi istri dan korban utama yang paling menderita adalah anak. Seorang ibu merupakan pendidik utama bagi anak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tidak bahagia (unhappy mother) bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anaknya yang akhirnya hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi keutuhan perkembangan jiwa anak.
Apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan memilih dilahirkan di keluarga yang harmonis, hangat, dan penuh kasih sayang. Keluarga yang demikian adalah dambaan dari setiap anak di dunia. Tapi sayangnya, anak tidak dapat memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Saat mereka lahir, mereka harus menerima siapapun yang menjadi orangtua mereka. Termasuk saat mereka memiliki orangtua yang melakukan praktek poligami.
Pengaruh yang paling besar adalah pengaruh terhadap perkembangan anak dan masa depannya. Dalam suasana yang tidak harmonis akan sulit terjadi proses pendidikan yang baik dan efektif, anak yang dibesarkan dalam suasana seperti itu tidak akan memperoleh pendidikan yang baik sehingga perkembangan kepribadian anak mengarah kepada wujud pribadi yang kurang baik. Akibat negatifnya sudah dapat diperkirakan yaitu anak tidak betah dirumah, hilangnya tokoh idola, kehilangan kepercayaan diri, berkembangnya sikap agresif dan permusuhan serta bentuk-bentuk kelainan lainnya. Keadaan itu akan makin diperparah apabila anak masuk dalam lingkungan yang kurang menunjang. Besar kemungkinan pada gilirannya akan merembes ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.
Betapa bahagia dan indahnya apabila semua orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik serta membentuknya menjadi pribadi yang shaleh, tentunya pertama kali yang mesti mereka terapkan adalah memperbaiki perilakunya sendiri dalam keluarganya. Jadi, jika seorang ayah tidak dapat menjamin akan dapat berlaku adil maka ia harus mengubur niatnya untuk berpoligami dan mulai memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan keluarga dan perkembangan psikologi anak yang tak berdosa yang bisa menjadi korban dari kerusakan atau penyelewengan moral akibat tatanan keluarga yang tak utuh. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perjalanan hidup dan masa depan anak karena lingkungan keluarga merupakan arena dimana anak-anak mendapatkan pendidikan pertama, baik rohani maupun jasmani.
Sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.
akibat negatif dari keluarga yang berpoligami yang disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
Pertama, anak merasa kurang disayang. Salah satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan psikisnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan pengawasan dari ayah kepada anak-anaknya akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami dekadensi moral karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang terpengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.
Kedua, tertanamnya kebencian pada diri anak. Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya ”ternodai” karena ayahnya berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan (sebagaimana dalam QS An-Nisa ayat 3) tapi mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.
Kekecewaan seorang anak karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah akan menyebabkan anak tidak simpati dan tidak menghormati ayah kandungnya.
Ketiga, tumbuhnya ketidakpercayaan pada diri anak. Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada, tentu ibarat memendam bom waktu, suatu saat lebih dahsyat reaksi yang ada. Sesungguhnya poligami bukan sesuatu yang harus dirahasiakan tapi sesuatu yang sejatinya harus didiskusikan, jadi jangan ada dusta di antara suami, istri, dan anak. Komunikasi dan diskusi tersebut tidak dilakukan oleh suami karena seorang suami ingin melakukan poligami dikarenakan alasan seks semata.
Keempat, timbulnya traumatik bagi anak. Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan. Walaupun tidak sampai cerai tetapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan laki-laki. Berikut kesaksian anak dari keluarga poligami :
Kesaksian Anak dari Keluarga Poligami
Seorang anak yang bapaknya berpoligami menceritakan pengalamannya dalam Kompas (6 Oktober 2003). Penulis ini mempunyai kenangan indah dengan bapaknya waktu masih kecil. Akan tetapi saat bapaknya menikah lagi, dia dan delapan saudaranya merasa tidak diperhatikan lagi. Menurut penulis ini, bapaknya tidak berlaku adil. Misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan selisih hanya beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakannya upacara apa-apa. Menurut penulis, adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya. Penulis mengasihani bapaknya karena dia sudah tua tetapi masih harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ceritanya diakhiri dengan kalimat ini: “Begitupun poligami, itu sesuatu yang halal, tetapi aku benci poligami.”
Pada sisi lain, ada pendukung poligami di antara anak-anak dari keluarga poligami, termasuk Syarif. Menurut Syarif, semua anggota keluarganya bahagia, termasuk bapak, istri-istri dan anak-anaknya. Walaupun ekonomi keluarganya pas-pasan, Syarif dan adik-adiknya berpendidikan bahkan Syarif sendiri menjadi calon doktor.
Sementara itu salah satu anak Ustadz Muhammad Umar, pelaku poligami dengan empat istri, tampaknya senang dengan keluarganya. Anak yang berumur delapan tahun ini mengatakan, saya senang jadi punya banyak umi, dan banyak saudara.
Source
http://meetabied.wordpress.com/2010/11/21/poligami-dan-pengaruhnya-terhadap-anak-ditinjau-dari-sisi-psikologis-dalam-prespektif-hukum-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar